Rabu, 15 Oktober 2014

Syaloom

Syaloom…???
(Pdt. Larena br. Sinuhadji)

Syaloom…! Mungkin kita sering mendengar atau mengucapkan kata ini. Sebagai contoh, ketika memulai ibadah, atau kegiatan-kegiatan gereja lainnya, pelayan/hamba Tuhan akan menyapa jemaat dengan perkataan syaloom. Ketika kita berkunjung ke rumah seorang saudara seiman, kita juga memberi salam dengan kata syaloom. Menerima atau menghubungi seseorang baik melalui Hp atau telepon sudah merupakan hal yang biasa kita mengawalinya dengan perkataan syaloom. Dan biasanya salam ini pun direspon dengan nada penuh semangat baik oleh jemaat maupun pribadi lepas pribadi. Berbeda halnya dengan salam dalam bahasa daerah (misalnya: mejuah-juah, horas), biasanya kurang mendapat respon yang hangat dari jemaat atau dari lawan bicara kita. Padahal sebenarnya kalau kita telusuri perkataan syaloom memiliki konsekuensi yang cukup berat.
Kata Syaloom adalah berasal dari bahasa Ibrani yang menunjuk kepada suatu keadaan yang ideal. Dalam PL, kata syaloom dipergunakan sebayak 237 kali. Kata Syaloom dipakai untuk ucapan selamat bila bertemu dengan orang yang bukan musuh. Dalam dunia politik-militer, kata syaloom berarti: damai, perdamaian antara orang, kota, suku bangsa yang sedang bermusuhan atau berperang (bdk. Hakim-hakim 21:13; I Samuel 7:14, I Raja-raja 5:4, Ulangan 10:20). Umumnya arti kata syaloom dalam PL mempunyai arti: berlimpah, kenyang, rasa puas, bahagia, utuh dan lengkap. Atau menunjuk pada suatu keadaan yang utuh-lengkap meliputi manusia seluruhnya dan dari semua segi kehidupan dan bukan hanya sekedar perkataan salam saja.
Keadaan ideal yang terkandung dalam kata syaloom terdapat dalam Kejadian 1:1-31 dan 2:1-5. Walaupun dalam Kejadian 1:1-31 dan 2:1-5 tidak kita jumpai kata syaloom, namun gambaran keadaan yang penuh syaloom (keadaan penuh selamat, damai sejahtera, dan utuh) dilukiskan dengan sangat hidup. Sebab Allah  menciptakan langit dan bumi serta manusia adalah agar dalam kehidupan ini tercipta suatu keadaan syaloom. Dalam Kejadian 1:1-31 dan 2:1-5, paling tidak ada 3 dimensi keadaan syaloom, yaitu dimensi vertikal, dimensi sosial, dimensi kosmis.
  1. Dimensi vertikal, syaloom berarti ada keselarasan antara Allah dengan manusia. Intinya ada pergaulan erat dan mesra antara manusia dengan Allah. Manusia menanggapi kasih Allah dengan kasih yang murni.
  2. Dimensi sosial, syaloom adalah bahwa manusia membutuhkan penolong yang sepadan (bdk. Kejadian 2:18). Penolong yang sepadan ini kemudian dikonkritkan dalam masyarakat sebagai kehidupan suami istri. Meskipun mereka sederajat (setara), masing-masing pihak tetap menempati kedudukannya sendiri dan memegang peranan yang sesuai dengan kodratnya, sehingga tidak ada yang memperbudak pihak lain. Di sini kita dapat melihat, tanpa kehadiran “orang lain” manusia tidak dapat menjadi utuh; dia hanya “separuh manusia”. Sehingga damai sejahtera dan keselamatan hanya dialami oleh manusia bila hidupnya terbuka dan berada dalam kebersamaan yang selaras dengan orang lain.
  3. Dimensi kosmis juga lingkup dari syaloom. Sebab itu harus ada keselarasan antara manusia dengan alam. Sebagai mandataris Allah (bukan sebagai penguasa dunia), manusia harus mampu memberi perlindungan dan pengayoman kepada mahluk hidup lainnya dan isi alam.
Dari pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa syaloom, yaitu keselamatan dan damai sejahtera, adalah suatu keadaan yang memungkinkan semua hubungan manusia menjadi baik dan lancar: harmonis dengan Tuhan Allah, dengan sesama dan dengan alam sekitarnya. Oleh karena itu sangatlah ironis ketika kita mengucapkan kata syaloom padahal sebenarnya kita tidak memiliki hubungan yang erat dan mesra dengan Tuhan. Kita mengucapkan kata syaloom, padahal kita membenci saudara atau teman kita bahkan mungkin kita sering melakukan kekerasan dan menindas sesama kita. Kita mengucapkan kata syaloom, padahal kita tidak mampu menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan, bahkan lebih tragis kita adalah pelaku perusakkan lingkungan dengan membuang sampah sembarangan atau menebang pohon-pohon yang dilindungi, dan masih banyak contoh yang lain.
Namun demikian bukan berarti pada akhirnya kita alergi dengan kata syaloom setelah membaca tulisan ini. Boleh-boleh saja kita mengucapkan kata syaloom, hanya saja kita perlu menyadari maknanya. Ketika kita mengucapkan kata syaloom, berarti kita sudah memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan, sesama, dan alam sekitar kita. Atau paling tidak ketika kita mengucapkan kata syaloom, kita disadarkan, apakah saya sudah memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan, sesama, dan alam sekitar saya? Tentunya juga supaya kita bertanggung jawab dengan setiap kata yang kita ucapkan, jangan hanya sekedar ikut-ikutan atau dalam bahasa trend-nya “Latah Rohani”. Selamat menciptakan Syaloom dimanapun kita berada.

Referensi : Y.B. Mulyono, Tuhan Ajarlah Aku (Pedoman Iman Kristen), (Malang: Gandung Mas, 1993)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar