Jika Aku Lemah Maka Aku Kuat
(Pdt. Larena br. Sinuhadji)
(Pdt. Larena br. Sinuhadji)
Sebelum menuliskan tulisan ini saya membaca sebuah tulisan Pdt. Prof. E.G. Singgih, Ph.D, dalam bukunya yang berjudul “Mengantisipasi Masa Depan”. Salah satu judul tulisan dalam bukunya adalah “Merehabilitasi Teologi Mistik: Pertimbangan dari sudut Protestantisme.” Ada beberapa point penting dalam tulisan ini yang bisa dijadikan acuan dalam pelayanan pendampingan orang-orang yang sakit berkepanjangan dan tidak mengalami kesembuhan. Berikut ini beberapa petikan dari tulisan tersebut yang mengambil pengalaman Rasul Paulus dalam 2 Korintus 12:1-10 ketika ia mengalami penyakit yang tidak tersembuhkan.
Pengalaman mistik[1]
Paulus seperti diuraikannya dalam 2 Korintus 12:1-10 merupakan bagian dari
pembelaan dirinya terhadap kesan sebagian besar jemaat yang terpengaruh oleh
kedatangan agamawan-agamawan dari luar, ataupun berdiam di luar Korintus, dan
mulai membanding-bandingkan kelebihan-kelebihan para agamawan ini terhadap apa
yang sehari-hari mereka lihat pada Paulus. Para
agamawan ini oleh jemaat dianggap mempunyai kelebihan spiritual dibadingan
dengan Paulus. Kelebihan spiritual ini barangkali adalah kesaksian-kesaksian
mereka mengenai pengalaman mistik mereka, atau cerita-cerita orang mengenai
pengalaman mistik mereka.
Kebiasaan Paulus adalah
bersikap low profile, tidak menonjol-nonjolkan kelebihan spiritual (kalaupun
ada namanya yang semacam itu) dalam rangka mendapatkan pengaruh dalam tubuh
jemaat. Yang dapat diceritakan Paulus hanyalah berbagai penderitaan yang
dialaminya karena Injil, yang dapat dilihat dalam ay. 23-28. Paulus tidak suka
memegahkan diri, tetapi akhirnya “terpaksa” memegahkan diri dalam rangka
membela diri dan pelayannya. Hanya sekali ini dalam surat-suratnya, ia
menceritakan pengalaman mistiknya, dan itu pun diceritakan secara tidak
langsung: “Aku tahu tentang seorang Kristen; empat belas tahun yang lampau -
entah di dalam tubuh, aku tidak tahu, entah di luar tubuh, aku tidak tahu,
Allah yang mengetahuinya - orang itu tiba-tiba diangkat ke tingkat yang ketiga
dari sorga” (2 Kor 12:2, TB-LAI). “Orang itu” (maksudnya dirinya sendiri)
mengalami diangkat ke Firdaus, dan mendengar bahasa surgawi, yang tidak boleh
diucapkan manusia. Sungguh sesuatu yang mulia, yang disebutnya sebagai
“penyataan-penyataan yang luar biasa” (ay. 7).
Tetapi Paulus menambahkan:
“supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa
itu, maka aku diberi suatu duri dalam dagingku, yaitu seorang utusan iblis
untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri” (ay. 7). Pengalaman
mistik yang luar biasa ini tidak menghindarkan Paulus mendapatkan gangguan yang
permanent, yang oleh sebagain penafsir dianggap sebagai gangguan
kesehatan/penyakit kronis, dan dari waktu ke waktu menyebabkan dia mengalami
kenyerian yang hebat. Tiga kali ia berdoa (dan perhatikanlah bahwa doa ini
berasal dari seorang yang telah mendapatkan pengalaman surgawi ketika masih
hidup), supaya gangguan/penyakit ini diangkat darinya, namun tidak
sembuh-sembuh. Paulus menilainya sebagai kehendak Tuhan, yang merasa bahwa
karunia yang diberikanNya kepada Paulus sudah cukup (ay. 9). Berbeda dengan
pengalaman mengenai doa yang pasti dikabulkan asal didoakan dengan yakin (Yak
5:16), di sini Paulus mengemukakan bahwa doa bisa tidak dikabulkan, meskipun didoakan
dengan sungguh-sungguh.
Pengalaman Rasul Paulus
sebagaimana yang telah saya kutip di atas, membawa saya pada kesimpulan sebagai berikut:
- Dalam beberapa kesaksian orang-orang beriman dalam Alkitab, kita melihat ada dua kenyataan yang bertolak belakang, ada orang yang mengalami penyakit berat dan disembuhkan dan ada orang yang mengalami penyakit berat dan tidak disembuhkan. Rasul Paulus termasuk pada pengalaman orang yang tidak disembukan, walaupun kita ketahui Rasul Paulus adalah orang beriman yang sungguh-sungguh di dalam pelayanannya.
- Kecenderungan kita pada jaman ini adalah sama dengan Rasul Paulus yang juga mengharapkan kesembuhan dari penyakit berat yang dialaminya. Kelebihan Rasul Paulus adalah, ia menganggapnya hal itu sebagai kehendak Tuhan supaya dirinya tidak sombong atau memegahkan diri dengan karunia yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
[1]
Pengalaman Mistik adalah pengalaman khusus dan mendalam dalam kesatuan dengan
Allah dan pemahaman mengenai kesatuan dengan Allah tersebut. Pengalaman khusus
dan mendalam tersebut biasanya berawal dari kontemplasi atau doa yang
sungguh-sungguh dalam hubungan yang penuh cinta kasih/mesra dengan Allah, dan
mungkin saja disertai dengan ekstase, penglihatan-penglihatan dan gejala-gejala
semacam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar