Kamis, 16 Oktober 2014

Puisi Usang "Sang Pendeta"

Puisi Usang Sang Pendeta
(Pdt. Larena br. Sinuhadji)

Kalau ia muda dianggap kurang pengalaman
Tapi bila rambutnya beruban, ia dianggap terlalu tua
Kalau keluarganya besar, ia adalah beban jemaat
Bila tidak punya anak, ia tidak layak diteladani
Kalau istrinya/suaminya aktif, dituduh mau menonjolkan diri
Bila tidak, istrinya/suaminya tidak mendukung pelayanan Sang Pendeta

Kalau khotbah sambil membaca, sangat membosankan
Kalau khotbah di luar kepala, itu tandanya tidak mempersiapkan diri
Kalau khotbahnya banyak contoh-contohnya, ia kurang Alkitabiah
Kalau tidak, khotbahnya terlalu tinggi
Kalau khotbahnya panjang, membuat orang mengantuk
Kalau khotbahnya pendek, ia Pendeta pemalas


Kalau ia gagal menyenangkan hati seseorang, itu berarti ia menyakiti jemaatnya
Kalau ia berusaha menyenangkan hati semua orang, berarti ia penjilat
Kalau ia terus-terang dalam kebenaran, ia dianggap menyinggung perasaan
Kalau tidak, ia dianggap pengecut

Ia mesti bijak seperti burung hantu
Gagah berani laksana rajawali
Rendah hati bak merpati
Bersedia makan apa saja, layaknya burung kenari
Ia mesti seorang ekonom, politikus, pencari dana, penasehat perkawinan
Seorang yang berwibawa, sopir taksi yang ramah
Orator yang ulung dan gembala yang arif

Ia mesti melihat semua orang sakit, semua orang menikah, dan semua orang mati
Ia mesti bergaul dengan anak-anak, remaja, pemuda, sampai orang tua
Ia mesti pandai bicara dan menulis
Ia seorang pelayan yang harus mau merendah, sekaligus pemimpin yang berwibawa

(Diterjemahkan dari : The Poems For Shadow And Shine)

Pertama kali mengetahui puisi ini dari suami saya. Katanya, ia pernah menghadiri Ibadah Emeritasi (pemberian gelar Emeritus) kepada seorang Pendeta GKI Jateng di Bandung (Pdt. Em. Budiadi Henoch - GKI Taman Cibunut Bandung) kurang lebih sekitar tahun 88-90. Dalam buku Ibadah Emeritasi tersebut, suami saya menemukan puisi ini. Jadi memang tidak salah jika judul renungan ini pun "Puisi Usang Sang Pendeta."

Dulu ketika pertama kali membacanya, tampaknya puisi ini terlalu berlebihan, alias lebay. Tapi setelah kurang lebih 16 tahun melayani di GBKP, puisi ini tampak begitu nyata dalam kehidupan Sang Pendeta. Dalam konteks GBKP, saya menjadi sadar, bahwa pilihan untuk menjadi Pendeta yang “baik” (apalagi "benar") kadang bernilai sama dengan menjadi Pendeta “biasa saja” atau “luar biasa” (hebatnya atau hancurnya). Saatnya untuk berefleksi kembali. Eben Haezer : sampai di sini Tuhan menolong kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar