Puisi Usang Sang
Pendeta
(Pdt. Larena br. Sinuhadji)
Kalau ia muda
dianggap kurang pengalaman
Tapi bila
rambutnya beruban, ia dianggap terlalu tua
Kalau
keluarganya besar, ia adalah beban jemaat
Bila tidak
punya anak, ia tidak layak diteladani
Kalau
istrinya/suaminya aktif, dituduh mau menonjolkan diri
Bila tidak, istrinya/suaminya
tidak mendukung pelayanan Sang Pendeta
Kalau khotbah
sambil membaca, sangat membosankan
Kalau khotbah
di luar kepala, itu tandanya tidak mempersiapkan diri
Kalau
khotbahnya banyak contoh-contohnya, ia kurang Alkitabiah
Kalau tidak,
khotbahnya terlalu tinggi
Kalau
khotbahnya panjang, membuat orang mengantuk
Kalau
khotbahnya pendek, ia Pendeta pemalas
Kalau ia
gagal menyenangkan hati seseorang, itu berarti ia menyakiti jemaatnya
Kalau ia
berusaha menyenangkan hati semua orang, berarti ia penjilat
Kalau ia
terus-terang dalam kebenaran, ia dianggap menyinggung perasaan
Kalau tidak,
ia dianggap pengecut
Ia mesti
bijak seperti burung hantu
Gagah berani
laksana rajawali
Rendah hati
bak merpati
Bersedia
makan apa saja, layaknya burung kenari
Ia mesti
seorang ekonom, politikus, pencari dana, penasehat perkawinan
Seorang yang
berwibawa, sopir taksi yang ramah
Orator yang
ulung dan gembala yang arif
Ia mesti
melihat semua orang sakit, semua orang menikah, dan semua orang mati
Ia mesti
bergaul dengan anak-anak, remaja, pemuda, sampai orang tua
Ia mesti
pandai bicara dan menulis
Ia seorang
pelayan yang harus mau merendah, sekaligus pemimpin yang berwibawa
(Diterjemahkan
dari : The Poems For Shadow And Shine)
Pertama kali mengetahui puisi ini dari suami saya. Katanya, ia pernah menghadiri Ibadah
Emeritasi (pemberian gelar Emeritus) kepada seorang Pendeta GKI Jateng di
Bandung (Pdt. Em. Budiadi Henoch - GKI Taman Cibunut Bandung) kurang lebih
sekitar tahun 88-90. Dalam buku Ibadah Emeritasi tersebut, suami saya menemukan puisi ini. Jadi memang tidak salah jika judul renungan ini pun "Puisi Usang Sang Pendeta."
Dulu ketika pertama
kali membacanya, tampaknya puisi ini terlalu berlebihan, alias lebay. Tapi setelah kurang lebih 16
tahun melayani di GBKP, puisi ini tampak begitu nyata dalam kehidupan Sang
Pendeta. Dalam konteks GBKP, saya menjadi sadar, bahwa pilihan untuk menjadi
Pendeta yang “baik” (apalagi "benar") kadang bernilai sama dengan menjadi Pendeta “biasa saja” atau “luar
biasa” (hebatnya atau hancurnya). Saatnya untuk berefleksi kembali. Eben Haezer
: sampai di sini Tuhan menolong kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar